Awalnya biasa saja, dan memang seharusnya pun biasa. Tidak ada sesuatu yang istimewa dariku yang dapat menarik perhatiannya.
Sampai
tiba pada satu waktu, ketika aku hendak pergi ke toko buku, ditengah
perjalanan aku ditabrak oleh pengendara motor yang tidak bertanggung
jawab. Luka ku tidak parah sih, tapi cukup membuat aku tidak mampu
berjalan saat itu. Mungkin hanya keseleo, pikirku singkat. Aku berusaha
bangkit dan mencoba untuk berjalan. Namun gagal. Lagi-lagi aku
terjatuh dipinggiran jalan. Banyak orang yang lewat didepanku, tapi tak
ada seorangpun yang mau untuk menolongku. Aku berusaha sekuat tenaga
untuk bangkit. Ku urungkan niat untuk pergi ke toko buku, yang ada
dibenakku saat ini hanyalah "bagaimana caranya aku dapat kembali kerumah
dengan keadaan seperti ini".
Disaat aku disibukkan oleh
usahaku untuk dapat berdiri, tiba-tiba dari samping ada seseorang yang
memegang lenganku dan mencoba untuk memapahku. Tak ada satu katapun
yang diucapkannya. Dan anehnya, aku pun membiarkan dia untuk memapahku
menuju halte yang ada disana. Cukup sepi. Mungkin karna ini jam kerja,
jadi tidak banyak orang yang berada diluar gedung. Apalagi dipinggiran
jalan sepertiku kini. Tapi ngomong-ngomong siapa pria ini ? Kenapa dia
tiba-tiba menolongku ? "ah mungkin hanya orang yang kasihan melihatku
yang tak dapat berdiri sendiri".
"Kaki kamu kenapa ?" tiba-tiba pria itu bertanya kepadaku. Spontan aku terkaget karna tak mengira dia akan bertanya kepadaku.
"I.. Ini tadi keserempet motor." jelasku terbata-bata, masih dengan ekspresi wajah yang meringis menahan sakit.
"Kenalin.. Aku Dion." ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Tak banyak kata ku ucapkan kepadanya, sambil menyambut uluran tangannya, aku pun menyebutkan namaku "Tara."
"Tara... ? Aku kira Taro..." godanya sambil tersenyum kecil
"Apaan sih ni orang, baru kenal udah berani ngeledek gitu." gerutuku dalam hati.
"Becanda kali, ga usah cemberut gitu." ujar Dion yang melihat rau mukaku berubah.
Aku tak membalas ucapannya, hanya sedikit tersenyum kepadanya sambil kembali meringis menahan rasa sakit di kakiku.
"Rumah kamu dimana Ra ? Biar sekalian aku anter kamu pulang."
"Ga
jauh dari sini koq, ga apa-apa aku bisa pulang sendiri. Makasih untuk
tawarannya." tolak ku secara halus agar Dion tidak tersinggung. Tapi
sepertinya kali ini alam berpihak kepadanya. Tanpa ada aba-aba lain air
hujan turun dengan derasnya.
"Kamu tunggu sini yah,
jangan kemana-mana." pinta Dion sebelum ia pergi meninggalkanku dan
berlari kearah dimana tadi ia menolongku.
Dion... ? Baik
banget sih tu cowo, selain baik dia juga tampan dengan tubuhnya yang
tinggi, potongan rambut pendek membuat penampilannya semakin terlihat
keren.
"Mikir apa sih aku, kenapa tiba-tiba jadi mikirin
Dion ? Helloo Tarraa... Kenal Dion aja belum satu jam, ga mungkin kan
kamu jatuh cinta sama dia. Jatuh cinta ? Whaatt kenapa aku bisa
berpikiran sampai kesana ?" saat itu seolah-olah aku sedang berdialog
dengan hatiku. Banyak pertanyaan yang muncul hanya karna kehadiran
Dion.
Belum selesai aku menjawab semua pertanyaan didalam
hatiku, tiba-tiba Dion sudah memegang bahuku dan memapahku menuju mobil
Jazz putih yang sudah terparkir dihadapan kami. Seakan terhipnotis,
aku pun mengikuti langkah kakinya dan masuk kedalam mobil. Tak banyak
percakapan kami saat itu, hanya berbagi no tlp dan menunjukkan alamat
rumahku.
Sesampainya didepan rumah, Dion memapahku dan
mengantarku masuk hingga kedepan pintu rumahku. Kehadiran Dion disambut
hangat oleh keluargaku. Mungkin karna Dion sudah menolongku. Tapi
entahlah karna aku memutuskan untuk langsung menuju kamarku dan
membaringkan tubuhku disana.
***
Sejak
perkenalan saat itu, aku dan Dion menjadi sahabat. Tidak terasa sudah
hampir setahun lebih persahabatan kami berlangsung. Banyak hal yang
kami lalui bersama-sama. Dion anak pertama dari dua bersaudara. Dia
memiliki adik perempuan yang sangat cantik bernama Puput. Sejauh ini
aku cukup akrab dengan keluarganya Dion, terlebih lagi dengan Puput.
Kadang kami pergi bersama, walau hanya sekedar jalan-jalan dan makan
saja. Begitupun Dion, nampaknya Dion pun berhasil merebut perhatian
keluargaku. Bahkan sampai-sampai keluargaku tak pernah melarangku jika
aku akan pergi keluar bersama Dion.
Lama kelamaan aku
merasa sangat nyaman jika berada disamping Dion. Mungkinkah aku jatuh
cinta kepadanya ? Sampai saat ini pertanyaan itu yang sering singgah
didalam benakku. "Bagaimana jika aku mencintai Dion ? Apakah Dion juga
mencintai aku, atau hanya menganggap aku sebagai sahabatnya saja ?" akh
entahlah, semakin kupaksakan untuk menjawab rasanya semakin pusing
hatiku dibuatnya. Biarkanlah semua berjalan mengalir seperti air. Toh
jika memang jodoh, kelak kami akan bersama juga.
"Doorrr...
Hayoo mikirin siapa, sampai ngelamun kaya gitu." tiba-tiba Dion sudah
berada disampingku dan mengambil novel yang sedang aku baca. Ya...
Itulah Dion, selalu bersikap semaunya. Tapi aku suka...
"Apaan
sih kamu, kebiasaan banget. Kalo aku jantungan gimana hayo, mau
tanggung jawab ?" ucapku ketus seakan-akan aku marah kepadanya.
"Kalo
kamu jantungan, aku bakalan gantiin jantung kamu pake jantung aku.
Biar kamu bisa ngerasain kekuatan jantung aku." ucapnya santai. Aku tau
saat ini Dion pasti sedang becanda, tapi entah kenapa hatiku rasanya
senang mendengar ucapannya tadi.
"Tumben kesini, pasti ada maunya ya." ucapku datar
"Tau
aja sih Ra, ia nih lagi galau. Kamu inget Restu kan, minggu lalu dia
udah balik ke Indo. Terus semalam dia tlp aku, minta balikan gitu."
jelas Diaon sambil memainkan buku novel yang tadi sedang aku baca.
"Restu...
?? Wanita yang selama ini Dion cintai, cinta pertamanya Dion ? Ya
Allah, kenapa rasanya hati ini tidak rela ya mendengar mereka akan
bersatu kembali." bisikku dalam hati.
"Sumpah Ra, aku
seneng banget. Makanya aku kesini mau ajak kamu keluar. Nanti sore aku
janjian buat ketemu sama Restu. Naahh... Aku mau kenalin kamu ke Restu.
Jadi sekarang kamu siap-siap dulu gih." lagi-lagi perkataan Dion tadi
seperti irisan pisau dihatiku. Rasanya sangat sakit. Kenapa aku harus
bersedih mendengar orang yang aku cintai bahagia ?
"Ok..
Bentar ya aku mandi dulu." dengan segera aku langkahkan kaki menuju
kamarku. Sesampainya didalam kamar aku tidak segera mandi, melainkan
terduduk dibalik pintu kamarku. Rasanya sangat sakit, bahkan lebih
sakit dari sebuah luka goresan. Dion... Kenapa disaat aku menyadari
bahwa aku memang sudah benar-benar jatuh cinta kepadamu, disaat itu
pula kamu harus pergi menjauh dariku.
Ya Allah... Kenapa
rasanya seperti ini. Seakan tak rela melepas Dion dari sisiku. Tapi aku
tak boleh egois. Ini demi kebahagiaan Dion, yang pastinya akan menjadi
kebahagiaanku juga. Dengan cepat kuseka air mataku. Dan bergegas ku
langkahkan kaki menuju kamar mandi.
***
benakku
dipenuhi banyak pertanyaan. Hatiku pun terasa hambar. Enatah apa yang
membuatku menjadi seperti ini. Dalam diam aku berdoa, berharap semua
ini hanya mimpi. Tapi aku tidak mimpi !! Kurasakan air mataku menetes
dipelupuk mataku. Ya Allah, semoga Dion tidak memperhatikan gelagatku
yang aneh sore ini.
Kami duduk di foodcourt, menunggu
Restu yang masih dalam perjalanan. Aku hanya memain-mainkan sedotan
didalam gelas yang terletak persis dihadapanku. Benakku benar-benar
dipenuhi rasa ingin tau, wanita seperti apa yang dapat membuat Dion
sesetia ini. Ku lihat Dion asik dengan hp nya. Entah apa yang sedang ia
lakukan. Ku tatap wajahnya dalam-dalam. Ada segurat kebahagiaan disana
dan aku sangat yakin, ia bahagia bukan karna saat ini sedang
bersamaku, melainkan karna sebentar lagi Dion akan berjumpa dengan
pujaan hatinya.
Lagi-lagi hati ini terasa sakit. Dadaku
sesak menahan perasaan yang bercampur aduk. Ingin rasanya aku berteriak
didepan wajah Dion, mengatakan kepadanya bahwa aku sangat
mencintainya. Mungkin jauh sebelum Restu hadir kembali didalam
hidupnya. Tapi sejenak aku berpikir, untuk apa kulakukan semua itu ?
Hanya akan membuat Dion bingung akan hatinya. Dan aku tidak pernah
menginginkan Dion bersedih, apalagi gara-gara aku.
"Hey.. Udah lama yah ? Maaf tadi macet banget dijalan." terdengar suara seorang wanita yang menyapa Dion.
Ku
tolehkan pandanganku untuk mengetahui siapa yang telah menegur Dion.
Dan aku hanya mampu terdiam. Benar-benar sempurna. Layaknya seorang
bidadari yang turun dari khayangan. Cantik sempurna, bahkan aku pun
terkagum-kagum dibuatnya. Matanya coklat alami, rambut terurai panjang,
dan terdapat lesung dipipi kanan dan kirinya. Kulitnya putih bersih,
dia cukup tinggi untuk ukuran seorang wanita. Sekali lagi aku bergumam
didalam hati, "Subhanallah... Benar-benar sempurna ciptaanMu ya Allah."
"Ga kok, baru beberapa menit yang lalu." ucap Dion menjawab pertanyaan wanita itu yang sangat kuyakini itu adalah Restu.
Restu
hanya tersenyum mendengar jawaban Dion. Sambil membenarkan letak
tasnya, Restu pun memandangku dan melempar senyuman yang ramah
kearahku. Tidak ada alasan untuk aku tidak membalas senyumannya.
Lagi-lagi dia bersikap sangat ramah terhadapku. Diulurkan tangannya kearahku sambil tersenyum dan menyebutkan namanya, "Restu."
Dengan segera aku pun membalas jabatan tangannya sambil tersenyum, "Tara."
tangannya
begitu lembut. Tak heran Dion sangat tergila-gila kepadanya. Selain
Fisiknya terlihat sempurna, perilaku dan tutur bicaranya pun sangat
sopan. Lagi-lagi aku bergumam "sempurna", mengagumi ciptaan Allah yang
satu ini.
"Tara ini sahabat aku Res, dia yang selalu
support aku saat kamu pergi." penjelasan Dion tak cukup membuatku lega,
bahkan timbul rasa sakit disana.
"Sahabat." Ternyata
benar dugaanku selama ini, Dion hanya menganggapku sebagai sahabatnya.
Tak lebih. Mungkin memang aku yang terlalu berharap banyak kepadanya.
Tapi sudahlah, saat ini aku tidak boleh memperlihatkan kesedihanku
dihadapan mereka. Biarkan saja kebahagian mereka terasa sempurna tanpa
adanya kesedihan diraut wajahku.
Ku lihat Restu dan Dion
asik dengan topik bahasan yang sedang mereka perbincangkan. Sementara
aku lebih banyak diam dan bermain dengan pemikiran dan perasaanku.
Tiba-tiba hp ku berbunyi. Ku lihat nama yang muncul dilayar hp ku.
"Puput".
"Halloo..."
"Halo kak, lagi dimana ?" terdengar suara Puput yang cukup manja disebrang sana.
"Lagi nemenin kak Dion ketemuan sama pacarnya, kak Restu." jelasku. Berharap Puput akan datang dan menemaniku saat itu.
"Ngapain sih jadi obat nyamuk disana, mending temenin Puput cari buku ke Gramedia mau ga ?"
Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung mengiyakan permintaan Puput dan segera menutup tlp nya.
"Ion...
Aku pulang duluan yah, tadi Puput tlp minta ditemenin nyari buku. Ga
apa-apa kan, toh sekarang udah ada Restu." aku berusaha tersenyum
setulus mungkin dihadapan mereka, walau sesungguhnya hatiku terasa
sangat sakit melihat kedekatan mereka saat ini.
"Oh.. Ok,
hati-hati kamu dijalan yah Ra." ucapan Dion hanya terdengar samar
ditelingaku. Tanpa berucap lagi, aku pun bergegas membalikan badanku
dan berjalan cepat meninggalkan mereka.
Tanpa aku sadari
air mata ini sudah mulai menetes. Setetes demi setetes yang akhirnya
membentuk aliran sungai diwajahku. Ya Allah... Ada apa ini, mengapa
rasanya sangat sakit dan benar-benar sakit ? Aku tidak ingin seperti
ini, aku ingin Dion bahagia. Kebahagiaannya jauh lebih penting bagiku.
Maka berikanlah aku hati yang tulus dan ikhlas untuk menerima apa yang
mungkin kelak akan terjadi.
Sepanjang perjalanan, air
mataku tak hentinya menetes. Entah apa yang aku tangisi, tapi rasanya
cukup sakit dan mampu membuat dadaku menjadi sangat sesak. Dion...
Laki-laki yang aku cintai. Laki-laki yang selama ini selalu ada didalam
hari-hariku. Mungkinkah kini ia akan pergi meninggalkanku, yang hanya
sebatas sahabat dimatanya. Aku tidak rela, bahkan sangat-sangat tidak
mampu untuk kehilangannya. Tapi apa yang dapat aku lakukan jika Dion
lebih memilih Restu dibanding aku ?
Ya Allah... Segera
akhiri perasaan ini. Aku ingin mencintainya kerna memang Engkau yang
memberikan rasa itu untuk ada didalam hatiku. Tidak seperti ini yang
hanya menjadi sebuah keegoisan didalam diriku sendiri.
***
"Kakak abis nangis ya ?" pertanyaan Puput cukup membuatku kaget.
"Nangis... ? Ngga kok, mungkin kelilipan debu tadi dijalan." sebisa mungkin aku mencoba menyembunyikan perasaanku didepan Puput.
"Kakak
ga usah bohong, Puput bukan anak kecil lagi kak. Puput tau kok, kakak
cinta kan sama kak Dion ?" kembali Puput bertanya sambil merangkulku.
Aku
tak dapat menjawab pertanyaan Puput, rasanya bibir ini kelu dan tak
dapat berucap sepatah kata pun. Hanya tetesan air mata yang
menggambarkan betapa sesak dadaku saat ini.
"Kalo kakak
mau nangis, nangis aja kak. Itu wajar kok, setidaknya air mata kakak
bisa sedikit meringankan rasa sakit dihati kak Tara." hibur Puput
sambil memelukku.
Aku pun menangis sejadi-jadinya. Dalam
isak tangisku, aku berdoa. Semoga setiap tetes air mata ini dapat
menjadi kebahagiaan untuk Dion. Betapa besar rasa cintaku untuknya. Dan
aku tak pernah berharap Dion dapat membalas perasaanku sebesar rasa
yang ada didalam hatiku saat ini.
***
Sesampainya
dirumah aku langsung bergegas memasuki kamarku. Menaruh tas diatas
meja riasku, dan membuka lemariku untuk mengambil notebook
kesayanganku. Disanalah kutulis semua perasaanku kepadan Dion. Kata demi
kata aku rangkai menjadi beberapa kalimat, dengan lincah jemariku
terus mengetik apa yang ada didalam pikiranku saat itu.
Hatiku
terasa sakit, terlebih lagi ketika melihat Dion bermesraan dengan
Restu tadi. Tak dapat kugambarkan rasa perih yang kurasakan saat ini.
Sempat aku menginginkan akulah yang menggantikan posisi Restu saat itu.
Namun aku adalah wanita yang cukup tahu diri. Tak mungkin Dion mau
bersamaku, apalagi menjadikanku sebagai kekasihnya. Mungkin inilah
takdirku. Hanya dapat mencintai Dion didalam doa-doa yang setiap malam
aku panjatkan kepadaNya. Sebab hanya kepadaNya lah aku dapat mengadu
semua kegelisahanku. Kegelisahaan dan ketakutanku akan kehilangan Dion.
***
Sebulan
sudah waktu berlalu semenjak aku dikenalkan dengan Restu saat itu.
Hubungan aku dan Dion pun semakin merenggang, entah karna mungkin Dion
sibuk dengan aktivitasnya, atau mungkin Dion sibuk dengan Restu
kekasihnya. Entahlah, aku tak ingin berburuk sangka dulu terhadap Dion.
Yang aku tau, Dion bukanlah tipe orang yang dengan mudahnya melupakan
teman apalagi sahabatnya. Apapun yang sedang dilakukan Dion saat ini,
aku selalu berharap dan berdoa agar Allah selalu memudahkan setiap
urusannya dan memberikannya jalan keluar yang terbaik pada setiap
masalah yang mungkin hadir saat itu.
Kulihat kalender yang
tergantung di kamarku. Kubuka-buka melihat bulatan diantara
angka-angkanya. Sampai pada akhirnya mataku tertuju pada bulatan merah
di tanggal 21 Maret. Mungkin hanya tanggal pengumpulan tugas saja, tapi
setelah aku ingat-ingat kembali, dan kubuka lembaran kalender itu,
tertulis jelas tanggal 21 Maret adalah tanggal dimana Dion dilahirkan.
Itu artinya seminggu lagi Dion ulang tahun.
Kucoba
memberanikan diri menghubungi Dion. Kutekan no tlp nya dan kemudian
terdengar nada sambung. Tidak lama ada suara yang sangat khas menyapa
disebrang sana.
"Halo..." suara itu sangat khas ditelingaku. Selama ini aku sangat merindukan suara itu.
"Ha.. Halo Dion." jawabku agak sedikit terbata-bata.
"Hei Ra, apa kabar ?" dia tidak berubah, tetap ramah dan penuh semangat.
"Kabar
aku baik, kamu gimana ? Lagi sibuk apa sekarang ?" hanya pertanyaan
standart sih, tapi memang saat itu aku benar-benar ingin mengetahui
bagaimana keadaannya saat ini.
"Kabar aku baik. Lagi di
rumah sakit Ra, tumben tlp kamu." masih saja Dion sempat menggodaku.
Dia tidak tau, saat ini aku begitu mengkhawatirkannya.
"Di rumah sakit ? Rumah sakit mana, kenapa ga bilang-bilang kamu masuk rumah sakit ?" tanyaku dengan sangat khawatir.
"Ya udah kamu datang aja kesini, sekalian temenin aku yah. Nanti aku sms alamat rumah sakit dan kamarnya, ok ?"
"Iya.." dan sambungan tlp pun terputus.
Benakku
dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Mengapa Dion tak memberitahuku
bahwa saat ini ia sedang sakit ? Lalu mengapa aku yang dia suruh datang
untuk menemaninya, kenapa tidak Restu ? Apa mungkin, mereka sudah
berpisah ? Akh tidak mungkin, aku tau Dion, dia adalah laki-laki yang
sangat setia dengan pasangannya. Setelah menerima sms dari Dion, aku
pun bergegas merapihkan penampilanku. Ku sisir rambutku yang lurus,
lalu ku ikat dengan sembarang. Ku ambil tas kesayanganku yang
tergeletak di meja riasku, lalu bersiap pergi untuk segera meluncur ke
rumah sakit dimana Dion saat ini sedang dirawat.
***
Dion...
? Katanya dia sakit, tapi... Kenapa yang terbaring adalah Restu ? Lalu
untuk apa dia menyuruhku datang kemari menemaninya ?
Pertanyaan
demi pertanyaan bermunculan dibenakku. Ketika aku hendak memasuki
kamar yang dimaksud Dion didalam smsnya. Disana aku dapat melihat Dion
sedang menggenggam tangan Restu dengan penuh kasih sayang. Sepertinya
Dion tidak ingin kehilangan waktu sedetik pun untuk dapat bersama
Restu.
Sempat terlintas olehku, seandainya aku yang
terbaring disana, apakah Dion akan seperhatian ini ? Menemaniku dan
menjagaku disamping ranjang tempatku berbaring ? "Akh semua itu hanya
khayalanku saja, tidak mungkin Dion akan bersikap seperti itu
terhadapku."
"Tara... Kok ga kasih tau kalau kamu sudah sampai ?" tiba-tiba saja Dion sudah berada dihadapanku saat ini.
Aku hampir lupa, daritadi aku hanya diasikkan oleh pemikiran-pemikiranku saja.
"Eh Dion... Ga kok aku baru sampai. Itu, Restu sakit apa ?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tau.
Lalu tiba-tiba Dion mengajakku duduk di bangku yang ada didepan kamar rawat Restu.
Dion
menceritakan awal mula Restu seperti itu. Dan jelas terlihat diraut
wajahnya, ada kesedihan luar biasa disana. Kesedihan yang mungkin sama,
bahkan lebih parah dari kesedihan yang kurasakan kemarin. Kesedihan
akan rasa takut kehilangan orang yang dicintainya. Entah mengapa
mendengarkan ceritanya aku pun meneteskan air mata. Ternyata saat ini
Restu sedang berjuang melawan penyakitnya. Entah apa yang ada dibenakku
saat ini. Haruskah aku senang melihat 'rivalku' terbaring lemah tak
berdaya seperti itu, atau aku harus ikut bersedih, karna melihat Dion
yang benar-benar takut kehilangan orang yang dicintainya. Ya Allah...
Apa yang dapat aku lakukan untuk mengembalikan senyuman itu lagi
diwajahnya Dion ?
"Bentar yah Ra, aku mau ke toilet dulu." ujar Dion sambil berdiri dan beranjak pergi meninggalkanku.
Kutarik
nafas panjang. Rasanya dada ini cukup sesak. Entah apa penyebabnya,
namun yang pasti aku dapat merasakan kesedihan yang kini menyelimuti
Dion-ku. Kusapu pandangan yang kini ada dihadapanku, sampai akhirnya
mataku tertuju pada sebuah ruangan. "ruang dokter".
Aku
berjalan kesana, berharap dapat bertemu dengan dokter yang menangani
penyakit Restu. Ku ketuk ruangan itu, dan mencoba masuk menemui dokter
yang ada disana.
"Selamat siang dok." ucapku memberi salam kepada dokter laki-laki yang mungkin usianya lebih tua dari usia ayahku.
"Selamat siang nak, ada yang bisa saya bantu ?" ujar pak dokter dengan ramah menyambut kedatanganku.
"Begini
dok, saya mau tau tentang keadaan Restu yang dirawat dikamar anggrek
no 301" aku mencoba mengutarakan maksud kedatanganku kesana.
Dengan
sabar pak dokter itu pun menjelaskan tentang penyakit Restu. Saat ini
Restu mengalami gagal ginjal dan membutuhkan donor ginjal secepatnya.
Sudah banyak yang mencoba mengikuti test kesehatan untuk mendonorkan
ginjalnya, tetapi sayang hasil test semua orang yang mengikuti test
kesehatan itu menunjukkan bahwa ginjal mereka tidak cocok dengan Restu.
Termasuk Dion.
"Apa, Dion ? Jadi Dion pun mengikuti test
itu, untuk mendonorkan salah satu ginjalnya bagi Restu ? Ya Allah,
sebesar itukah rasa sayang Dion terhadap Restu ? Beruntung sekali kamu
Res, mendapatkan cinta Dion hingga sedalam itu." ucapku dalam hati.
"Jadi bagaimana, apa adik mau mengikuti test kesehatan juga ?"
dengan
pelan aku pun mengangguk. Entah karna aku ingin tau, atau karna aku
kasihan kepada Restu. Restu ? Aku rasa, aku melakukan ini demi Dion.
Ya... Demi mengembalikan senyuman itu diwajahnya Dion.
Lalu
aku pun mengikuti beberapa test kesehatan. Dokter bilang hasil test
itu akan terlihat besok siang. Jadi, besok siang aku pun harus kembali
kesini untuk mengetahui hasilnya. Tak lupa aku pun meminta dokter untuk
merahasiakan tentang test ini. Aku tidak ingin Dion tau bahwa aku pun
mengikuti test itu.
Ku langkahkan kaki menuju luar
ruangan. Lebih tepatnya keluar rumah sakit. Bahkan aku pun tak sempat
berpamitan kepada Dion. Biar sajalah, nanti aku sms Dion untuk
memberitahunya aku pulang lebih dulu.
Disepanjang jalan
aku disibukkan dengan pertanyaan demi pertanyaan yang beterbangan
dibenakku. Jika nanti hasil testnya cocok, apapkah mungkin aku harus
mendonorkan salah satu organ tubuhku untuk orang yang jelas-jelas akan
mengambil Dion dari sisiku. Tapi, jika tidak aku donorkan, sampai kapan
aku dapat kuat melihat kesedihan itu ada didalam wajah Dion-ku ? Ya
Allah... Mengapa Engkau tempatkan hamba dalam pilihan yang sulit
seperti ini ? Sesungguhnya aku hanya ingin bahagia, dicintai dan
mencintai. Dengan Dion tentunya. Tapi sayang, kenyataan berkata lain.
Restu lah yang lebih dulu mendapatkan hati Dion. Dan lagi-lagi aku
harus mengalah. Bukan kepada Restu, melainkan demi kebahagiaan dan
senyuman diwajah Dion.
***
Siang itu aku
sudah berada di rumah sakit untuk menemui dokter yang kemarin sudah
memeriksaku. Bahkan dari semalam aku tak bisa tidur. Memikirkan apa
yang akan aku lakukan jika memang hasil testnya cocok.
"Tara.. Ini hasil testnya." suara dokter Juan terdengar seperti sebuah peringatan bagiku.
Entah mengapa rasanya jantung ini berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Dok,
saya tidak mau melihat hasil testnya. Saya hanya ingin tau langsung
dari dokter bagaimana hasil test ini ?" jelasku kepada dokter Juan,
dokter yang menangani penyakit Restu.
"Hasilnya 83% cocok." jawab dokter singkat.
"Apaa...
?? Cocok ??? Ya Allah, kenapa seperti ini, padahal aku berharap
hasilnya akan tidak cocok, tapi kenapa jadi seperti ini ? Apa ini
adalah salah satu rencanaMu ya Allah ?" lagi-lagi hatiku berontak
mendengar jawaban yang diberikan oleh dokter Juan.
"Jika
kamu bersedia untuk mendonorkan ginjalmu, kita bisa melakukan operasi
secepatnya." belum sempat aku berkata-kata, sekarang yang ada aku
dihadapkan pilihan antara mau atau tidak.
Aku terdiam
sejenak. Menundukkan wajahku, terasa hangat tetesan air mata ini
membasahi pipiku. "Kenapa aku harus menangis ?" tanyaku dalam hati.
Lagi-lagi ingatanku selalu tertuju kepada Dion. Kepada senyuman yang ada diwajahnya.
Dengan perlahan aku mengangkat wajahku dan memberanikan diri menatap dokter Juan.
"Ia
dok, saya bersedia. Kapan saya dapat melakukan operasi ?" entah
mendapatkan kekuatan dari mana tiba-tiba aku dapat dengan lancar
berbicara seperti itu.
Sekarang giliran dokter Juan yang terdiam. Tidak lama ia terdiam, sebelum akhirnya menatapku dan berkata
"Empat hari lagi kita akan oprasi."
bagiku itu bukan jawaban, tetapi keputusan.
Aku pun menyetujuinya, bersalaman dengan dokter Juan sekaligus berpamitan untuk pulang.
Tak
ada yang mengetahui niatku mendonorkan ginjal untuk Restu. Tidak juga
kedua orang tuaku. Semua aku lakukan ikhlas, hanya demi mengembalikan
keceriaan yang sempat hilang didalam hidup Dion.
***
Tidak
terasa sudah empat hari berlalu. Dan sekarang tibalah saatnya untuk
aku melakukan oprasi itu. Apa, hari ini ? Kucoba membuka lagi kalender
yang terpajang di dinding kamarku. Tepat tanggal 21 Maret, berarti hari
ini Dion ulang tahun. Dengan segera kuraih hp dan mengetik sms untuk
Dion.
"Selamat ulang tahun Dion. Semoga senyuman itu cepat kembali diwajahmu. Good luck dear."
ku
tekan tombol yes, dan itu artinya sms pun sudah aku kirimkan kepada
Dion. Tak lama kemudian hp ku berbunyi, ternyata sms balasan dari Dion.
"Thanks
Tara sayang. Oh ya, siap-siap ya aku mau ajak kamu makan. Itung-itung
traktir dihari ulang tahunku. :D" sms Dion cukup singkat, tapi dapat
membuat hatiku sedikit lega.
Aku melihat jam tanganku,
operasinya nanti sore, ku pikir masih keburu lah untuk aku pergi
sebentar bersama Dion. Dengan cepat jari2ku menari diantara tombol di
hp ku. Ku ketik sebuah sms balasan untuk Dion.
"Ok jelek, jangan ngaret yah. Jemput aku 15menit lagi."
sambil
menunggu sms balasan dari Dion, aku pun bersiap-siap. Kukenakan
pakaian terbaikku dan mencoba berpenampilan sebaik mungkin dihari ulang
tahun Dion.
Tiba-tiba terdengar suara mbak Inah memanggilku.
"Non Tara, ada mas Dion dibawah." ujarnya memberitahuku tentang keberadaan Dion dirumahku.
"Iah mbak, sebentar lagi." aku pun berteriak dari dalam kamarku dan bergegas keluar untuk menemui Dion.
Sesampainya
diruang tamu, aku melihat Dion sudah siap dengan kemeja putih
panjangnya yang dia gulung menjadi sepertiga lengannya. Tak salah aku
memilih dress putih ini untuk kupakai siang ini.
"Taa... Tarraa, cantik banget kamu." mata Dion sedikit melotot melihat penampilanku kali ini.
Aku pun tersipu malu dibuatnya. Baru kali ini Dion memujiku seperti itu.
"Apaan sih, udah yu. Udah lappeeerrr nih." ajak ku sedikit merengek sambil menggandeng tangan Dion keluar dari rumahku.
"Ya
Allah... Hari ini aku sangat bahagia. Bisa sedekat ini lagi dengan
Dion. Terima kasih untuk semuanya ya Allah." aku pun mengucap syukur
dalam hatiku.
***
Sesampainya disebuah
restoran, Dion memilih tempat dipojok dekat jendela. Pelayan disana
mengira kami adalah pasangan kekasih, tak hentinya mereka berkata bahwa
aku serasi dengan Dion. Tapi tak ku hiraukan, toh hati Dion sudah ada
yang memiliki. Dion memesankanku makanan, tak banyak percakapan
diantara kami saat itu. Namun kulihat beberapa kali Dion sempat
menguap, mungkin karna dia kurang tidur atau bisa saja dia terlalu
lelah menjaga Restu hingga dia sendiri lupa akan kesehatannya.
"Dion..
Sorry aku belum siapin kado buat kamu." aku meminta maaf atas
kelalaianku, aku bahkan sampai lupa menyiapkan kado untuk Dion.
"Santai aja kali Ra, udah kaya sama siapa aja sih." jawab Dion sambil tersenyum kecil ke arahku.
"Oh
ya, habis ini kita ke rumah sakit yu. Aku pengen jenguk Resti."
pintaku tanpa mengalihkan pandanganku dari piring yang ada dihadapanku.
"Ok."
Lalu
kami pun segera menyelesaikan makan siang itu. Lagi-lagi Dion
menggandeng tanganku sampai kami menaiki Jazz putih miliknya. Tak lama
kemudian mobil yang kami tumpangi meluncur menuju rumah sakit.
Namun
entah mengapa, sepertinya Dion kehilangan kendali saat itu. Mobil yang
dikendarainya terasa oleh dan hampir menabrak badan jalan. Belum
sempat Dion dapat mengendalikan mobil itu, tiba-tiba dari arah
berlawanan muncul sebuah truk yang juga kehilangan kendali. Maka sudah
dapat dipastikan kecelakaan itu pun terjadi.
***
Tubuhku
terasa sangat kaku. Antara sakit dan juga ngilu. Kucoba untuk membuka
mataku, semua gelap. Namun perlahan aku dapat melihat orang-orang yang
berada disekitarku. Ada papa, mama, Puput, juga dokter Juan. Tapi
dimana Dion, mengapa aku tak melihatnya ?
Aku melihat mama
menangis terisak melihat keadaanku. Bagaimana tidak, baju yang ku
kenakan sudah berubah warna menjadi merah karna darah yang terus
mengalir keluar dari tubuhku. Aku tak mampu menggerakkan salah satu
anggota tubuhku sendiri.
"Ma.. Dion mana ?" masih dengan suara parau aku mencoba menanyakan keadaan Dion.
"Dion ada diruang sebelah nak, kamu harus kuat yah sayang." ucap mama lirih diantara isak tangisnya.
"Dokter, bagaimana keadaan Dion ?" kali ini pertanyaan aku tujukan kepada dokter Juan.
"Tara..
Dion mengalami kebutaan yang diakibatkan karna benturan yang sangat
keras di kedua bola matanya." penjelasan dokter Juan bagaikan petir
yang menyambar tubuhku.
Rasanya tak rela mendengar orang
yang kusayangi mengalami kebutaan seperti itu. Tiba-tiba dadaku sesak,
ya Allah... Mungkinkah saat ini Engkau akan memanggilku ? Jika ia, aku
ikhlas.
"Ma, Tara udah ga kuat. Jika suatu waktu nanti
terjadi sesuatu kepada diri Tara, Tara mohon tolong berikan kedua bola
mata Tara untuk Dion. Dan salah satu ginjal Tara untuk Restu. Tara
sayang Dion ma, Tara ingin Dion bahagia." ucapku lirih namun aku yakin
mereka mendengarnya
Tubuhku terasa dihantam sebuah batu
besar. Rasanya sangat sakit dan tak dapat kugerakan sama sekali. Ya
Allah mungkin ini saatnya aku kembali kepadamu. Aku berterima kasih
untuk kebahagiaan yang sempat aku rasakan tadi bersama Dion. Dadaku
sangat sesak, tak dapat bernafas. Masih dapat kulihat kedua orangtuaku
menangis sejadi-jadinya. Sebelum kututup kedua mataku, aku pun berusaha
mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai akhir dari perjalanan
kisahku.
***
Dion hanya dapat termenung
diatas tempat tidurnya kini. Ingin rasanya Dion tidak mempercayai apa
yang baru saja diceritakan oleh Puput, adiknya. Sebesar itukah rasa
cinta Tara kepadanya, sampai-sampai dia sanggup mengorbankan dirinya
untuk sebuah senyuman diwajah Dion.
"Tara.. Kenapa kamu ga
bilang sama aku, kalo ternyata kamu cinta sama aku ? Kenapa kamu tega
Tara ninggalin aku dalam penyesalan seperti ini ?" dalam hati, Dion
marah pada dirinya sendiri. Mengapa selama ini ia tidak peka terhadap
apa yang sudah dilakukan Tara untuk dirinya.
"Sudah kak,
jangan menyalahkan diri kakak sendiri. Yang penting saat ini, kakak
jaga baik-baik kedua mata kakak. Karna itu satu-satunya peninggalan kak
Tara yang ada didalam diri kakak. Selain ginjal yang ada didalam diri
kak Restu." Puput mencoba memberikan semangat kepada kakak semata
wayangnya itu.
"Apa... Tara mendonorkan ginjalnya juga
buat Restu ?" Dion mencoba memperjelas apa yang baru saja ia dengar
dari mulut adiknya itu.
Puput hanya dapat mengangguk pelan.
"Ya
Allah.. Tara. Mulia sekali hati kamu, pengorbanan kamu ga akan pernah
aku lupain sepanjang hidup aku. Ini adalah hadiah terindah darimu Ra,
kamu sahabat terbaikku. Dan akan terus menjadi yang terbaik didalam
hidupku. Semoga kamu tenang dan bahagia disana Ra, dan aku disini akan
mengabulkan keinginan terakhirmu. Untuk kembali tersenyum."