Sunday 26 July 2015

Tanpa Judul ( Part 3 )

"Lima belas menit lagi aku jemput yah"

Aku hanya bisa tersenyum kecil ketika membaca bbm darinya. Niko, laki - laki luar biasa yang hingga sampai detik ini selalu berhasil membuatku tertawa. Aku bergegas mengganti baju dan membereskan barang yang akan aku bawa nanti. Aku duduk disamping jendela kamarku, melihat jam dinding berwarna biru laut yang kubeli setahun lalu saat aku dan Niko tak sengaja mampir kesebuah toko buku. Pukul empat.

"Aku udah dibawah nih, turun dong. Kalo kamu masih lama, aku bisa kembung minum terus sirup buatan mama kamu yang enak ini"

Lagi - lagi, dia selalu bisa mengambil hati keluargaku. Aku bergegas turun dan membawa tas kecil yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi.

"Wah, kalo Niko yang datang aja pasti banyak makanan"

"Apa sih kamu, sirik aja. Masa sama mama sendiri cemburu." jawabnya cuek sambil menikmati cemilan yang dihidangkan ibuku.

"Sudah.. Sudah, kenapa kalo ketemu ga pernah akur sih? Udah sana jalan, keburu sore. Jangan malam - malam yah pulangnya Ko."

"Siap tante... Ayo well" ucapnya sambil menyambar tanganku. Mungkin lebih tepatnya menyeretku.

"Eh.. Eh.. Eh.. Kita mau kemana?"

"Udah, ikut aja.. Bawell"

Aku pun menurut saja apa yang ia ucapkan.

"Nih pake, kali ini kita naik motor. Aku lagi males nyetir mobil, macet" ucapnya sambil menyodorkan helm berwarna putih kepadaku.

Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Hanya sesekali aku bertanya dan dia pun menjawab seadanya. Pikiranku melayang entah kemana. Yang aku tahu, saat ini aku harus bersyukur telah memiliki seseorang yang sangat menyayangiku apa adanya.

"Woy, turun. Udah sampe niih"

"Pantai?" ucapku heran

"Iya, kenapa?" dia memandangku heran. Mengernyitkan dahinya dan kemudian berjalan meninggalkanku yang masih bingung karena tiba - tiba saja dia mengajakku ke pantai.

"Kenapa dia tiba - tiba ngajak gw ke pantai? Bukannya dia paling susah kalo gw ajak ke pantai? Selalu aja ada alasan buat nolak kalo pas gw ajak jalan ke pantai" pikirku dalam hati

"Mau sampai kapan diem disitu? Mau jaga parkiran?" Niko meneriakiku yang masih berdiri mematung diparkiran motor tempat dia memarkirkan motornya. Aku tertawa kecil lalu kemudian berlari untuk mengejarnya.

"Gimana? Udah cape ngejarnya?" dia menertawakanku yang mulai sulit mengatur nafas.

"Udah sini, sekali - kali kita duduk dipasir. Biar tau rasanya jadi kucing. Hahahaa"

"Apaan sih, ga lucu" ucapku masih dengan nafas yang terengah - engah.

Kami diam beberapa saat. Aku melihat jam ditangan kiriku. Pukul lima. Tepat dimana matahari mulai bersiap untuk masuk ke peraduannya. Ya, senja kali ini kulewatkan di pantai bersama orang yang sangat aku sayangi. Kutatap dalam - dalam langit yang membentang dihadapanku. Warna jingga yang selalu aku sukai. Pemandangan yang sering membuatku jatuh cinta.

"Kenapa kamu ngajak aku ke pantai? Bukannya kamu paling susah kalo aku ajak jalan ke pantai?" akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya tentang alasannya membawaku kesini.

Ia tak menjawab. Ia hanya memandangku dengan tatapan yang lembut dan kemudian tersenyum.

Aku semakin bingung mengapa dia bisa melakukan hal ini? Bukankah dia dulu pernah bilang bahwa dia sangat tidak menyukai lautan? Bukankah dia bilang bahwa lautan telah memisahkan ayahnya dari kehidupannya. Lalu, kenapa sekarang tiba - tiba dia mengajakku ke pantai? Apa mungkin saat ini dia sedang rindu pada ayahnya?

"Jangan terlalu banyak menduga - duga, nanti kamu menyesal karena telah melewatkan senja terindah yang pernah kau bayangkan."

Aku tertegun mendengar ucapannya. Dan akhirnya aku menyadari, bahwa senja kali ini sangatlah berbeda. Matahari yang indah, lautan yang tenang, dan yang terpenting adalah Niko yang saat ini ada disampingku.

"Tuhan, aku sangat menyayangi laki - laki yang ada disampingku ini. Bisakah aku meminta pada-Mu tentang dia? Tolong, jangan pernah pisahkan kami dengan alasan apapun."

Aku menatap senja yang ada dihadapanku. Tak terasa air mataku menetes begitu saja. Ada rasa sesak, juga bahagia. Aku sendiri tak mengerti perasaan apa yang saat ini sedang kurasakan. Yang pasti, aku sangat - sangat takut kehilangannya.

Air mata yang menetes dengan segera kuseka sambil memalingkan wajahku agar Niko tak melihatnya. Tapi sayang, sepertinya usahaku terlambat. Ia memandangku lalu kemudian mengacak - acak rambutku. Ia tersenyum dan membaringkan tubuhnya diatas pasir.

"Ra.. Hal apa yang paling menakutkan bagimu?"

Aku bingung sekaligus kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkannya begitu saja.

"Apa maksudmu?"

"Dalam hidup, kita pasti punya rasa takut. Dan hal apa yang sangat membuatmu takut?"

"Aku.. Aku sangat takut kehilanganmu" ucapku sambil merebahkan tubuhku disampingnya.

Sesaat kami sama - sama terdiam. Sibuk dengan pemikiran kami masing - masing. Saat ini aku rasa kami benar - benar berada sangat dekat dengan laut. Bahkan kami bisa dengan jelas mendengar deburan ombak yang menghangam batu karang. Sekilas aku memandang kearahnya, tatapannya lurus menatap langit. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak tahu.

"Ra, apa kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu? Dan apa kamu pun tahu, bahwa aku sangat tak ingin melihatmu bersedih?"

"Koo.."

"Aku tak pernah sanggup melihat orang - orang yang aku sayangi meneteskan air mata didepanku. Aku merasa tak berguna ketika aku melihat mereka menangis dan aku tak dapat berbuat apa - apa. Apa kamu mengerti, kenapa aku selalu marah saat kamu menangis dihadapanku? Karena aku merasa gagal sebagai pasanganmu saat aku tahu ada air mata diwajahmu."

Ucapannya sangat datar, bahkan tanpa ekspresi. Tatapannya masih lurus menusuk langit. Namun hatiku, terasa hancur mendengar kata - katanya. Entah kenapa akhir - akhir ini aku menjadi lebih cengeng. Terutama ketika aku tahu, ada kanker yang bersarang didalam tubuhnya. Dan dia, bersikap seolah - olah tak ada apapun.

Aku memalingkan wajah kesebelah kiriku. Aku benar - benar ingin menangis sejadi - jadinya.

"Apa kamu tahu, alasan aku mengajakmu kesini? Aku tahu, kamu sangat menyukai senja. Dan tempat terindah untuk menikmati senja adalah disini, dipantai."

"Tapi Ko..."

"Ya, aku tahu. Pasti kau akan bertanya bukankah aku sangat tidak menyukai pantai? Jawabannya singkat, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk orang yang aku sayangi. Aku tak ingin menjadi orang yang egois dengan harus membiarkan dirimu dengan harapan tentang kebahagiaan sederhana yang selalu kau ucapkan. Aku selalu ingat kata - katamu tentang sebuah kebahagiaan. Kau pernah bilang, bahwa kau akan sangat merasa bahagia ketika kita bisa sama - sama menikmati senja di pantai. Dengan waktu yang tak terduga dan juga dengan cara yang sederhana. Saat ini aku sedang berusaha mewujudkan mimpimu Ra, aku harap kau menyukainya. Tentang ketidaksukaanku pada pantai, itu tak perlu kau pikirkan lagi. Semua menjadi no sekian setelah aku berhasil membuatmu tersenyun secara sederhana."

Aku beranjak dari pembaringanku. Terduduk dihadapan matahari yang sudah mulai tak terlihat. Angin pantai yang memainkan rambutku menambah rasa perih dihatiku. Aku tak mengerti dengan perasaanku, seharusnya aku bahagia saat ini. Tapi entah mengapa hatiku menjadi semakin sakit ketika aku tahu ada seseorang yang sangat menyayangiku. Bukan karena aku tak ingin disayangi, karena aku sangat takut kehilangan kebahagiaanku bersamanya. Saat itu aku benar - benar menangis sejadi - jadinya. Niko yang mengetahui aku menangis dengan segera bangun dari tempatnya berbaring.

"Ra... Kamu baik - baik aja? Raa.. Ma.. Maafin aku kalo ada kata - kataku yang membuatmu menangis. Aku.. A.. Aku cuma beru..." belum selesai ia menyelesaikan kata - katanya, aku segera memeluknya dan menangis dipelukannya.

Niko mengusap rambutku yang panjang. Pelukannya cukup menenangkanku. Tapi entah kenapa hatiku rasanya masih terasa sangat sakit.

"Tuhan, aku mohon jangan ambil dia" doaku

"Rara.. Aku sangat menyayangimu, melebihi apapun yang kamu tahu tentang aku. Maaf jika aku sering marah tanpa alasan ketika kamu melakukan hal - hal konyol. Aku marah bukan karena aku membencimu, tetapi aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku tak pernah ingin sesuatu terjadi padamu. Tolong, jangan pernah berpikir buruk tentang sikapku. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik bagimu. Yaa.. Walaupun kadang aku tak mengerti bagaimana caranya untuk bisa mengungkapkannya padamu. Aku tak seperti lelaki lain yang bisa sesuka hati mengumbar kata - katanya dihadapan wanitanya. Kamu pasti tau, itu sangat sulit bagiku. Tapi yakinlah, aku akan selalu berusaha menghadirkan senyuman diwajahmu Ra."

Aku melepaskan pelukkanku. Kutatap wajahnya dalam - dalam. Ya, ini adalah wajah lelaki yang sangat aku sayangi dan juga begitu menyayangiku. Aku benar - benar beruntung bisa memilikinya. Tuhan, terimakasih jika Kau sudah menghadirkan malaikat yang sempurna untukku.

"Udah ah nangisnya, mata kamu jadi jelek gitu tuh. Tar pas pulang dikira aku kdrt sama kamu Ra" ucapnya sambil mencubit kedua pipiku

"Iihh... Emang dasar yah, ga pernah bisa romantis kamu"

"Sini.. Sini..." dia kemudian menggandengkan tangannya dipundakku, lalu kemudian menatapku dan mencium keningku.

"Udah ya, jangan nangis lagi. Aku paling ga bisa liat kamu nangis well."

"Iya jelleekk.. " ucapku manja sambil mencubit ujung hidungnya.

Dan setelah itu, kami berduapun berjalan bersama - sama ditepi pantai. Tanpa alas kaki, dan juga pastinya tanpa air mata..

Tuesday 7 July 2015

Tanpa Judul ( Part 2 )

"Bagaimana jika aku mati?"

Sebuah kalimat yang memecahkan keheningan malam itu. Dengan spontan aku pun memandang kearahnya. Memalingkan wajahku yang pada awalnya asik dengan lukisan malam yang Tuhan ciptakan. Kutatap wajahnya dari samping. Tanpa ekspresi. Dingin, hampir sama dengan hembusan angin malam ini. Hening, dan kami pun kembali larut dalam angan dan pemikiran kami masing - masing.

"Bukankah semua orang pun akan mati?"

Aku tak mampu mengucapkan banyak kata selain kalimat itu. Rasanya ada tali kencang yang menjerat leherku. Disusul oleh rasa sesak nafas yang mungkin bisa saja membunuhku. Kupalingkan wajahku dari pandangan wajahnya. Menengadah kelangit, seakan - akan menikmati hamparan cahaya yang menciptakan sebuah keindahan dalam hamparan langit yang hitam pekat itu. Aku berusaha menikmati pemandangan malam ini, namun demi apapun itu aku berbohong. Sekuat tenaga aku menengadah kelangit, bukan untuk menikmati melainkan menahan sesuatu yang hendak mengalir dari pelupuk mataku. Entah kenapa aku merasa jadi manusia paling cengeng jika sudah membicarakan tentang kematian.

"Haha.. Ya, semua akan mati. Tapi tidak secepat aku"

Oke, kali ini aku menyerah. Ada sesuatu yang terasa hangat mengalir diwajahku. Aku menangis. Aku terdiam. Aku merasa sesak dan ingin berteriak. Namun sepertinya aku merasa membeku.

"Kumohon, jika aku mati nanti jangan pernah menangis seperti ini. Aku tak suka wanita yang cengeng."

Cukup!!! Aku mohon cukup!!! Rasanya ingin sekali aku berteriak sekencang mungkin untuk membuatnya diam dan tak pernah membicarakan hal ini lagi. Tapi kenyataannya, aku hanya mampu membisu. Menahan setiap tusukan yang timbul dari beberapa kalimat yang ia ucapkan.

"Apa boleh aku memohon?"

"Tentu saja, itu hakmu"

"Disisa waktumu, bolehkah kita lalui tanpa kalimat kematian?"

Kurasa kalimatku tak terdengar jelas olehnya, karena suaraku terlalu serak dan mendadak hilang saat ini. Ia hanya terdiam, sebelum kemudian berdiri dan berlutut dihadapanku. Ya, tepat dihadapanku dan memandangku dengan tatapan lembut. Tak ada yang ia ucapkan, ia hanya memandangku. Dalam dan lembut. Ingin rasanya kemudian aku menangis sekencang - kencangnya sambil memeluk tubuhnhya dan berteriak "Tolong, jangan tinggalkan aku"

"Hei, jangan menangis. Kemana perginya wonder womenku yang selalu bilang " Jadi cewe tuh harus tegar dan mandiri" ?"

Ia tersenyum, kemudian menyeka air mataku. Namun sayang, sikapnya itu bukannya membuatku berhenti menangis, melainkan mengundang ratusan tetes air mata yang sedari tadi sudah kubendung sekuat tenaga.

"Ka.. Kamu, kenapa tega bikin aku nangis gini sih?"

Aku tak mampu lagi menahan air mata yang mengalir diiringi isak tangis yang tak dapat kukendalikan. Ia hanya tersenyum kemudian memelukku. Mengusap - ngusap rambutku dan mencoba menenangkanku.

"Aku ga akan pergi kemana - mana kok. Aku akan selalu ada dihati, pikiran, doa dan setiap waktumu. Kumohon demi apapun itu, tolong berhentilah menangis dihadapanku. Setiap tetes air matamu, seperti cuka yang menyirami luka yang kucoba untuk kubur sedalam mungkin. Bagaimana bisa, aku membiarkan air mata itu terus mengalir mengiringi kepergianku ketempat terakhirku. Jika itu terjadi, kau sungguh jahat"

Semudah itu kah kamu bilang aku jahat, sementara kamu sendiri yang membuat aku menangis seperti ini. Apa kamu tahu tentang bagaimana rasanya kehilangan? Apa kamu mengerti tentang rasa takut ditinggalkan? Apa kamu paham, soal sebuah perasaan sesak yang menjalar begitu cepat kearea tubuh dan membuatnya terasa tak dapat bergerak? Apa kamu pernah mengalami semua yang saat ini sedang kualami? Jahat!!! Kamu hanya memikirkan perasaanmu saat kamu pergi!!! Tuhaann.. Tolong katakan padanya, pada seorang laki - laki yang saat ini tangannya sedang mengusap habis rambutku. Pada laki - laki yang selalu aku minta pada-Mu. Pada laki - laki yang aku inginkan kehadirannya hingga tutup usiaku. Tolong katakan padanya Tuhan, tolong bilang bahwa ia tak akan Kau panggil secepat ini.

Kami terdiam. Kembali terdiam tepatnya. Aku dapat dengan jelas mendengar degup jantungnya yang berdetak cukup kencang. Jika boleh aku meminta, cukup dia saja Tuhan yang Kau izonlan jadi orang terakhir dalam hidupku.

"Hei, jangan tidur. Aku masih harus mengantarmu pulang dulu sebelum papa kemudian menyidangku untuk menikahimu"

"Siapa yang tidur, hanya sedikit terlelap dan berharap tak bangun kembali"

Ia menatapku dalam dengan kerutan didahinya sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya. Ia kembali duduk disampingku, membuka jaket putih yang sedang dipakainya dan kemudian menyodorkanya padaku.

"Pakai ini, kita pulang sekarang"

Kurasa ini bukanlah ajakan, melainkan perintah. Aku tak berkutik, namun masih sibuk memandang tanah yang ada dihadapanku. Pikiranku masih menerawang, seakan ingin bertanya pada tanah yang ada dihadapan kami saat ini "mengapa terlalu cepat kau menawarkan diri untuk menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir?" rasa sesak kembali menjalar dalam tubuhku. Sendi - sendiku terasa lemas. Sekali lagi aku menatap wajah laki - laki yang saat ini berada disampingku. Aku ingin dialah yang terakhir kulihat saat aku menutup mata dan menjadi yang pertama saat aku kembali membuka mata. Dan saat ini, entah mengapa rasanya pandanganmu terasa buram. Sendi - sendiku terasa lemas. Kusenderkan kepalaku pada bahunya yang kekar, sebelum akhirnya aku tak tahu apalagi yang akan terjadi saat ini.

"Aku menyayangimu, demi apapun tolong jangan tinggalkan aku"

Kurasa itu adalah kalimat terakhir yang sanggup aku katakan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menutup mataku dan tertidur dalam keadaan menyender pada bahu orang yang teramat sangat aku sayangi.