Tuesday 7 July 2015

Tanpa Judul ( Part 2 )

"Bagaimana jika aku mati?"

Sebuah kalimat yang memecahkan keheningan malam itu. Dengan spontan aku pun memandang kearahnya. Memalingkan wajahku yang pada awalnya asik dengan lukisan malam yang Tuhan ciptakan. Kutatap wajahnya dari samping. Tanpa ekspresi. Dingin, hampir sama dengan hembusan angin malam ini. Hening, dan kami pun kembali larut dalam angan dan pemikiran kami masing - masing.

"Bukankah semua orang pun akan mati?"

Aku tak mampu mengucapkan banyak kata selain kalimat itu. Rasanya ada tali kencang yang menjerat leherku. Disusul oleh rasa sesak nafas yang mungkin bisa saja membunuhku. Kupalingkan wajahku dari pandangan wajahnya. Menengadah kelangit, seakan - akan menikmati hamparan cahaya yang menciptakan sebuah keindahan dalam hamparan langit yang hitam pekat itu. Aku berusaha menikmati pemandangan malam ini, namun demi apapun itu aku berbohong. Sekuat tenaga aku menengadah kelangit, bukan untuk menikmati melainkan menahan sesuatu yang hendak mengalir dari pelupuk mataku. Entah kenapa aku merasa jadi manusia paling cengeng jika sudah membicarakan tentang kematian.

"Haha.. Ya, semua akan mati. Tapi tidak secepat aku"

Oke, kali ini aku menyerah. Ada sesuatu yang terasa hangat mengalir diwajahku. Aku menangis. Aku terdiam. Aku merasa sesak dan ingin berteriak. Namun sepertinya aku merasa membeku.

"Kumohon, jika aku mati nanti jangan pernah menangis seperti ini. Aku tak suka wanita yang cengeng."

Cukup!!! Aku mohon cukup!!! Rasanya ingin sekali aku berteriak sekencang mungkin untuk membuatnya diam dan tak pernah membicarakan hal ini lagi. Tapi kenyataannya, aku hanya mampu membisu. Menahan setiap tusukan yang timbul dari beberapa kalimat yang ia ucapkan.

"Apa boleh aku memohon?"

"Tentu saja, itu hakmu"

"Disisa waktumu, bolehkah kita lalui tanpa kalimat kematian?"

Kurasa kalimatku tak terdengar jelas olehnya, karena suaraku terlalu serak dan mendadak hilang saat ini. Ia hanya terdiam, sebelum kemudian berdiri dan berlutut dihadapanku. Ya, tepat dihadapanku dan memandangku dengan tatapan lembut. Tak ada yang ia ucapkan, ia hanya memandangku. Dalam dan lembut. Ingin rasanya kemudian aku menangis sekencang - kencangnya sambil memeluk tubuhnhya dan berteriak "Tolong, jangan tinggalkan aku"

"Hei, jangan menangis. Kemana perginya wonder womenku yang selalu bilang " Jadi cewe tuh harus tegar dan mandiri" ?"

Ia tersenyum, kemudian menyeka air mataku. Namun sayang, sikapnya itu bukannya membuatku berhenti menangis, melainkan mengundang ratusan tetes air mata yang sedari tadi sudah kubendung sekuat tenaga.

"Ka.. Kamu, kenapa tega bikin aku nangis gini sih?"

Aku tak mampu lagi menahan air mata yang mengalir diiringi isak tangis yang tak dapat kukendalikan. Ia hanya tersenyum kemudian memelukku. Mengusap - ngusap rambutku dan mencoba menenangkanku.

"Aku ga akan pergi kemana - mana kok. Aku akan selalu ada dihati, pikiran, doa dan setiap waktumu. Kumohon demi apapun itu, tolong berhentilah menangis dihadapanku. Setiap tetes air matamu, seperti cuka yang menyirami luka yang kucoba untuk kubur sedalam mungkin. Bagaimana bisa, aku membiarkan air mata itu terus mengalir mengiringi kepergianku ketempat terakhirku. Jika itu terjadi, kau sungguh jahat"

Semudah itu kah kamu bilang aku jahat, sementara kamu sendiri yang membuat aku menangis seperti ini. Apa kamu tahu tentang bagaimana rasanya kehilangan? Apa kamu mengerti tentang rasa takut ditinggalkan? Apa kamu paham, soal sebuah perasaan sesak yang menjalar begitu cepat kearea tubuh dan membuatnya terasa tak dapat bergerak? Apa kamu pernah mengalami semua yang saat ini sedang kualami? Jahat!!! Kamu hanya memikirkan perasaanmu saat kamu pergi!!! Tuhaann.. Tolong katakan padanya, pada seorang laki - laki yang saat ini tangannya sedang mengusap habis rambutku. Pada laki - laki yang selalu aku minta pada-Mu. Pada laki - laki yang aku inginkan kehadirannya hingga tutup usiaku. Tolong katakan padanya Tuhan, tolong bilang bahwa ia tak akan Kau panggil secepat ini.

Kami terdiam. Kembali terdiam tepatnya. Aku dapat dengan jelas mendengar degup jantungnya yang berdetak cukup kencang. Jika boleh aku meminta, cukup dia saja Tuhan yang Kau izonlan jadi orang terakhir dalam hidupku.

"Hei, jangan tidur. Aku masih harus mengantarmu pulang dulu sebelum papa kemudian menyidangku untuk menikahimu"

"Siapa yang tidur, hanya sedikit terlelap dan berharap tak bangun kembali"

Ia menatapku dalam dengan kerutan didahinya sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya. Ia kembali duduk disampingku, membuka jaket putih yang sedang dipakainya dan kemudian menyodorkanya padaku.

"Pakai ini, kita pulang sekarang"

Kurasa ini bukanlah ajakan, melainkan perintah. Aku tak berkutik, namun masih sibuk memandang tanah yang ada dihadapanku. Pikiranku masih menerawang, seakan ingin bertanya pada tanah yang ada dihadapan kami saat ini "mengapa terlalu cepat kau menawarkan diri untuk menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir?" rasa sesak kembali menjalar dalam tubuhku. Sendi - sendiku terasa lemas. Sekali lagi aku menatap wajah laki - laki yang saat ini berada disampingku. Aku ingin dialah yang terakhir kulihat saat aku menutup mata dan menjadi yang pertama saat aku kembali membuka mata. Dan saat ini, entah mengapa rasanya pandanganmu terasa buram. Sendi - sendiku terasa lemas. Kusenderkan kepalaku pada bahunya yang kekar, sebelum akhirnya aku tak tahu apalagi yang akan terjadi saat ini.

"Aku menyayangimu, demi apapun tolong jangan tinggalkan aku"

Kurasa itu adalah kalimat terakhir yang sanggup aku katakan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menutup mataku dan tertidur dalam keadaan menyender pada bahu orang yang teramat sangat aku sayangi.

No comments:

Post a Comment